Ads

Jumat, 15 April 2011

Biografi R.A. Kartini

Menyabut hari Kartini yang jatuh hari ini, saya akan mencoba menulis tentang Biografi R.A. Kartini. Tanpa banyak Cing Cong, langsung saja kita mulai.


Raden Adjeng Kartini atau lebih tepatnya disebut Raden Ayu Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Ia lahir sebagai golongan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. R.A. Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.


Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana ( Pemerintahan di bawah kabupaten pada jaman Hindia Belanda ) di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.




Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandungnya, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi bupati pada usia ke-25. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.


Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). ELS mungkin bisa di samakan dengan sekolah dasar. Sekolah ini diperuntukan untuk Warga Belanda, kaum pribumi yang mampu serta kaum Tionghoa walaupun akhirnya sekolah ini hanya di peruntukan untuk warga belanda saja. Di ELS Kartini belajar banyak hal, termasuk di dalamnya belajar bahasa Belanda.


Memasuki usianya yang ke-12, Kartini sudah tidak bersekolah lagi karena ia sudah memasuki usia untuk bisa dinikahi. Hal ini mengharuskan Kartini untuk selalu tinggal di Rumah sampai nanti ia menikah.


Kartini sebenarnya sedih dengan keadaan tersebut. Ia ingin menentang tetapi tak memiliki keberanian karena takut akan dianggap sebagai anak yang durhaka kepada orang tua. Untuk menghilangkan kesedihannya, Kartini mulai mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani pembantunya.


Karena tidak banyak hal yang bisa ia lakukan di rumah selain membaca, dengan cepat membaca menjadi kegiatan favorit Kartini. Bagi Kartini tidak ada satu haripun ia lewatkan tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya.


Jika Kartini menemukan kata-kata yang sulit dalam buku atau surat kabar yang ia baca sehingga ia sulit memahaminya, Kartini akan selalu menanyakannya kepada Ayahnya. Dia tidak ingin melewatkan sedikitpun ilmu yang dapat ia ambil dari bacannya.


Selain membaca, Kartini juga mampu menulis. Ia mampu menulis dan membaca bahasa Belanda. Hal ini membuat Kartini mulai melakukan korespondensi ( surat menyurat ) dengan teman-temannya yang berasal dari Belanda. Salah satu Temannya adalah Rosa Abendanon, istri dari Mr. J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Rosa Abendanon adalah orang yang banyak mendukung Kartini dalam mencapai cita-citanya.


Pada surat-surat Korespodensi Kartini dengan teman-temannya di Eropa, Kartini banyak menulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.


Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.


Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.


Dari korespondensi dengan teman-temannya di Eropa, serta dari Buku, surat kabar dan majalah Eropa yang di bacanya, Kartini menjadi tertarik pada kemajuan cara berpikir wanita Eropa, khususnya Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia. Ketertarikan Kartini terhadap cara pikir Wanita Eropa ini membuat Kartini memiliki keinginan untuk memajukan wanita Indonesia.


Di jaman Kartini, Kebanyakan Wanita Indonesia hanya bekerja di dapur, mengurus anak dan suami. Mereka berada pada status Sosial yang jauh lebih rendah di bandingkan dengan laki-laki. Kartini ingin memajukan Wanita Indonesia di mana nantinya Wanita tidak hanya didapur tetapi juga mengerti tentang ilmu pengetahuan.


Untuk mewujudkan keinginannya, Kartini memulai dengan cara memperbaiki lingkungan sekitarnya. Kartini mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya.


Sambil terus mengajarkan teman-temannya, Kartini juga masih tetap rajin membaca. Ia seringkali membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft. Selain majalah tersebut, Kartini juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.


Tertarik dengan isi Majalah De Hollandsche Lelie, Kartini kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya kepada majalah tersebut. Response dari majalah De Hollandsche Lelie terhadap tulisan Kartini cukup baik sehingga akhirnya beberapa tulisan Kartini di tampilkan dalam majalah tersebut.


Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.


Kartini memiliki keinginan yang besar untuk mendapatkan pendidikan yang lebih banyak lagi. Ia memiliki keinginan untuk melanjutkan studi-nya, terutama ke Eropa.


Untuk mencapai keinginannya, Kartini menulis surat pada Mr.J.H Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu. Kartini memohon kepada Abendanon agar diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda. Permohonan Kartini dikabulkan dan ia mendapatkan Beasiswa dari pemerintahan saat itu.


Walaupun mendapat Beasiswa, tetapi Kartini tidak mendapatkan izin dari Ayahnya untuk sekolah di Eropa. Karena Kartini adalah anak yang taat kepada orang tua, ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk belajar di Eropa.


Lalu atas nasihat Rosa Abendanon, kawannya dalam korespodensi. Kartini mendapatkan solusi lainnya untuk meneruskan studinya. Rosa Abendanon menyarankan agar Kartini melanjutkan studinya di betawi saja. Menurut Rosa Abendanon, hal ini adalah solusi terbaik untuk Kartini dan adiknya, Rukmini.


Ayah Kartini sebenarnya masih tidak mengizinkan Kartini untuk sekolah di betawi. Akhirnya setelah Kartini mengubah jurusan sekolahnya yang sebelumnya jurusan kodekteran di ubah menjadi jurusan guru, Ayahnya akhirnya mengizinkannya.


Tetapi Niat Kartini untuk belajar di Betawi juga akhirnya gagal. Pada tanggal 12 November 1903, Kartini akan dinikahkan orang tuanya dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Bupati Rembang sendiri pada saat itu telah memiliki tiga istri.


Menjelang pernikahannya, terjadi perubahan pada diri Kartini. Kartini kini mulai melihat adat Jawa dari sisi yang berbeda. Kartini menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginannya mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.


Suami Kartini mengerti tentang keinginan Kartini tentang ingin memajukan kaum wanita pribumi. Oleh suaminya, Kartini diberi kebebasan dalam mencapai hal tersebut dan suaminya juga memberikan Kartini dukungan saat ia mendirikan sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang ( kini digunakan sebagai Gedung Pramuka ). Selain itu suaminya juga menyarankan agar Kartini menulis sebuah buku.


Dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Kartini memiliki satu orang anak. Nama anaknya adakag RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari setelah melahirkan, tepatnya pada 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.


Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya "Habis Gelap Terbitlah Terang". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.


Penghormatan terhadap usaha Kartini untuk memajukan kaum wanita pertama kali terjadi dengan didirikannya sebuah Yayasan atas namanya, Yayasan Kartini. Yayasan kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Politik etis sendiri adalah Politik yang dijalankan pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu yang berarti Politik balas budi. Politik ini keluar setelah mata rakyat Belanda terbuka dengan kekejaman Politk Tanam Paksa yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap warga Pribumi di Indonesia. Mereka mendesak Pemerintah Kolonial untuk mengubah perlakuan mereka terhadap warga Pribumi. Pemerintah kolonial dipaksa untuk memperlakukan warga pribumi dengan lebih bermoral dan lebih baik.


Yayasan Kartini kemudian berusaha melanjutkan cita-cita Kartini. Mereka kemudian mendirikan sekolah wanita di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah yang mereka dirikan mereka sebut sebagai "Sekolah Kartini".


Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru, dengan pembagian buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda.


Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.


Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.


oK ITu aja All.


Terakhir :


Johan Firdaus mengucapkan Selamat Hari Kartini...!!! Mari bagi para kaum wanita untuk tidak menyia-nyiakan perjuangannya...!!!


Source:


http://id.wikipedia.org/wiki/ELS


http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini


http://id.wikipedia.org/wiki/Wedana


http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis


http://chrissanta.wordpress.com/2008/03/05/nichhbiografi-my-best-mother/


Tidak ada komentar: