Ads

Sabtu, 16 April 2011

[ Kisah BMI / TKW ] Kamus Bahasa Lidah ala Baniah

Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang di buat oleh seorang BMI ( Buruh Migran Indonesia ) di Hongkong yang mungkin lebih kita kenal dengan sebutan TKW ( Tenaga Kerja Wanita ) Indonesia di Hongkong.


Overall this article is written by Ms Umi. I rewrite a few of it to repair some gramatical error and also to make it more reader friendly.


Sekitar tahun 1997 krisis moneter yang melanda Indonesia semakin parah. Hal ini berdampak besar pada kenaikan harga sembako yang waktu itu manjadi semakin tinggi. Kenaikan harga Sembako ini di iringi pula dengan lapangan kerja yang semakin sempit. Keadaak ekonomi pada saat itu sungguh carut marut. Aku adalah salah satu orang yang merasakan dampak dari krisis moneter tersebut dalam kehidupan rumah tanggaku.


Pendapatan suamiku saat itu tidak banyak membantu dalam memenuhi tuntutan perut akan makanan dan kebutuhan lainnya. Setelah mengecek semua opsi, aku sadar bahwa kini pilihanku hanya satu. Aku yang tampak keahlian dan ketrampilan ini, akhirnya hanya dengan berbekal modal nekat dan keberanian, mendaftar menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita ( TKW ) dengan tujuan tempat kerja, negri Singapura.


Selain untuk mengkais-kais rejeki di negri tersebut, tujuanku kesana juga sekaligus ingin menambah wawasan.


Akhirnya semua proses untuk mendaftar sebagai TKW aku jalani. Dengan seleksi yang tidak begitu ketat pada waktu tersebut, aku yang memiliki mata minus ini akhirnya diterima sebagai Calon Tenaga Kerja Indonesia.


Dengan di terimanya Aku di sebagai Calon TKW, bukan berarti aku langsung di berangkatkan. Aku dan teman-teman lainnya harus melalui proses berikutnya, yaitu proses bimbingan belajar untuk mejadi seorang TKI. Sama seperti Calon TKW lainnya, dalam proses pembelajaran ini, kami semua di tampung di sebuah PT di Jakarta. PT yang aku tinggali pada saat itu tampaknya lebih layak di sebut sebagai rumah dari pada sebuah PT, bahka bisa di bilang bentuknya mirip dengan sebuah asrama putri.




Dalam pembelajaran kami menjadi seorang TKI, salah satu guru kami adalah Ibu Diana. Ibu Diana adalah guru yang mengajarkan kami bahasa inggris. Beliau sebenarnya adalah seorang pensiunan guru Bahasa Inggris suatu SMU Negri di Jakarta. Selain sebagai guru Bahasa Inggris, Ibu Diana juga merangkap ganda sebagai ibu asrama.


Ibu Diana memili Tubuh yang gemuk dan usia yang sudah lanjut. Dengan usia setua itu, tentu saja kami semua penghuni asrama ( PT ) sangat menaruh hormat kepada beliau. Sorot mata Beliau walau sudah terlihat kabur, tetapi tetap menandakan sorot mata yang memperlihatkan kecerdasan dan kewibawaan. Aku bangga menjadi murid Ibu Diana.


Setiap mata pelajaran Ibu Diana di mulai, aku selalu benar benar menyimaknya. Di PT, Aku merasa bagaikan seorang mahasiswi Universitas dari sebuah Universitas Terbuka. Ku Bilang terbuka dengan arti yang sebenarnya, karena proses belajar kami memang benar-benar berada di tempat yang terbuka.


Walaupun seperti itu, aku tetap merasa bangga pernah diajarkan oleh orang yang di mataku sangat bersahaja. Yang bisa mengikuti bimbingan Ibu Diana biasanya adalah mereka yang sudah turun VISA. Oleh karena itu, dalam waktu dekat mereka akan segera diterbangkan keluarga negri untuk benar-benar menjadi TKI. Oleh karena itu, Kita semua di gembleng oleh Ibu Diana dengan menggunakan percakapan langsung.


Di Asrama ( PT ), Aku sempat berkenalan dengan teman yang berasal dari cilacap, tempat aku berasal. Banih adalah nama teman baruku. Meski kita berdua berasal dari daerah yang sama, tetapi sebelumnya kita tidak pernah bertemu. Asrama tersebut adalah tempat kita berkenalan pertama kali.


Berbeda dengan Aku yang selalu semangat dan senang saat pelajaran Ibu Diana di mulai, temanku, Baniah memiliki Pandangan lain tentang Ibu Diana. Setiap pelajaran Ibu Diana di mulai, dia mulai terlihat tegang dan takut.


Sebenarnya hal ini cukup wajar ia alami, mengingat selain kebaikan yang aku sebutkan tadi, Ibu Diana juga merupakan seseorang yang tegas. Ia tidak akan segan memarahi kami jika saja kami tidak mampu mengucapkan kata Bahasa Inggris dengan benar.


Aku kadang tersenyum sendiri setiap aku mengingat keadaan ini. Hampir semua dari kami rata rata hanya lulusan Sekolah Dasar. Jangankan untuk mengucapkan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia saja kami masih sering keliru dalam tulisan maupun ucapan.


Seperti halnya teman-temanku yang lain, aku menjadi gagap dalam sebuah percakapan. Walaupun aku termasuk baik dalam hal membaca Bahasa Inggris, tetapi percakapan benar-benar level pembelajaran yang jauh lebih tinggi dari membaca. Dalam melakukan percakapan apa yang akan aku ungkapkan biasanya hanya tertelan di tenggorokan. Bayangan akan hukuman membersihkan toilet juga dapur jika saja aku salah dalam melakukan percakapan membuat gagapku menjadi semakin parah.


Dalam melakukan percakapan menggunakan bahasa Inggris dengan Ibu Diana, jawabanku dan juga jawaban teman-temanku yang lain sering kalo ngawur dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pertanyaan yang di ajukan Ibu Diana. Bahkan terkadang, saat di tanya keluar kata dari mulut kita yang kita sendiri tidak mengerti apa artinya. Kalau kejadian seperti ini terjadi, kami tidak bisa apa-apa lagi melainkan hanya menahan tawa hingga perut kami menjadi mules.


Baniah adalah termasuk orang yang sangat polos. Ia merupakan orang jujur dan setia. Aku katakan dia jujur di sini karena saat pelajaran Bahasa Inggris, dia selalu menulis kata kata inggris secara jujur sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia. Misalnya saja untuk menulis urutan angka satu, dua dan tiga. Bukannya menulis One, Two dan Three, temanku ini menulisnya dengan Wan, Tu dan Tri. Benar benar jujur sesuai lidahnya. Setelah kepelajari, ternyata itu adalah bahasa lidah, sebuah ilmu baru yang kupelajari darinya.


Ku katakan Baniah itu setia, karena dia benar-benar setia dengan tempat duduknya. Dia selalu berada di tempat yang sama setiap harinya, di sebelahku, di bagian pojok. Dia bagaikan sedang mengumpat dan tempat itu juga cocok jika nantinya dia ingin mencotek tulisanku. Cukup dengan melirikan matanya saja sudah bisa untuk mencotekku.


Kebiasaan kawanku itu tidak pernah aku protes, bahkan ketika ulangan berlangsung, wajahnya yang masih mirip dengan anak-anak itu dan tingkahnya yang konyol selalu mengundang rasa iba pada diriku untuk memberi tau jawabanku.


Hasilnya, nilai ulangan kami nyaris selau sama. Bukan sama-sama bagus, melainkan sama sama bobrok dan jelek. Ya, temanku ini memang setia. Setia menanti contekan yang kuberikan, dan tetap mencontekku walaupun dengan mencontekku nilai dia tetap bobrok.


Ibu Diana tidak pernah mengetahui tentang kegiatan rahasia kami ini. Dia tidak pernah menaruh curiga sedikitpun tentang hal ini. Tentu saja hal ini mempermudah mudah aksi contek mencontek antara aku dan Baniah yang berada di sampingku.


Selain Ibu Diana, kami juga punya guru lainnya. Mba Wati adalah salah satunya. Berbeda dengan Ibu Diana, Mba Wati adalah pemimbing kami dengan umur yang masih muda.


Perasaan gelisah dan takut datang apa bila Mba Wati mendapat jatah untuk mengajar kami. Aku dan Baniah hanya bisa pasrah saat dia mengejar.


Mbak Wati selalu saja punya ide untuk mempermalukan kami dimuka teman teman kami yang lain tiap saat dia datang untuk mengajar.


Mbak Wati selalu memindahkan tempat duduk aku antara Aku dengan Baniah. Yang tadinya posisi kami berdua berada di paling belakang menjadi di posisi paling depan. Pas sekali berada di depan mejanya.


Tapi pada suatu hari, entah angin apa yang membuat Mba Wati tiba-tiba menjadi peri baik hati. Ia tidak memindah posisi duduk kami ke depan hari itu. Aku dan Baniah tak henti hentinya mengucapkan puji syukur atas karunia-NYA pada hari tersebut.


Hari itu saat aku di ajar Mbak Ratna, aku komat kamit sambil memejamkan mata dengan gaya menghapal pelajaran. Padahal sebenarnya saat itu aku tidak sedang menghapal melainkan sedang berdoa agar waktu dapat berjalan lebih cepat sehingga jam pelajaran mbak Ratna cepat selesai dan aku terhindar dari mara bahaya yang bisa di timbulkan oleh Mba Wati.


Saat aku sedang asyik-asyiknya berdoa, tiba-tiba saja terdengar suara nyaring memanggil-manggil namaku. Suara tersebut memerintahkanku untuk maju kedepan. Tentu saja suara itu merupakan suara dari Mba Wati.


Bagai terkena sengatan listrik aku melongo sebentar karena kaget dengan suara tersebut. Lalu dengan langkah berat akupun maju memenuhi keinginan dari Mba Wati. Melihat aku ketimpa kesulitan, Baniah tampak malah senyam senyum sendiri. Aku tau makna dari senyumnya. Apa lagi kalo bukan senyum mengejek.


"Perkenalkan diri kamu selengkap lengkapnya dan sesudah itu jawab pertanyaanku", itulah instruksi yang dikeluarkan Mba Wati saat aku sudah berada di depan kelas. Tentu saja instruksi tersebut dibuat dalam bahasa Inggris.


Aku agak bernafas lega karena aku sudah hapal dan fasih kalo hanya memperkenalkan diri dan menurutku hal ini tidaklah sulit. Dengan gaya percaya diri aku melirik Baniah yang kemudian mengacungkan jempol ke arahku sebagai tanda bahwa dia mendukungku. Aku berdiri makin tegap melihat Baniah memberikan dukungannya kepadaku.



Setelah posisi berdiriku mantab, mulailah aku memperkenalkan diri.
"good morning friends,..."
"My name is Umi, I come from Cilacap Central Java of Indonesia, I am married, I have one child"

Mulutku terus nyerocos saja menceritakan diriku, tetapi tiba-tiba saja teman-temanku menjadi tertawa termasuk juga mbak Ratna (?), Melihat hal ini aku menjadi bingung. Aku memandang Baniah dengan harapan ia akan memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Baniah memang tidak pernah bisa di harapkan, dia terlihat bingung dan sama tidak mengertinya dengan diriku. Tentu saja wajahnya terlihat lebih miris dari mukaku.


Salah seorang temanku nyeletuk,. "Kamu merit ya?"


"OOOOH,,ternyata kamu anak bebek toh,.?"


Geeeeeeerrrrrr,.... yang di ikuti tawa anak anak sekelas.


Ternyata istilah meried itu aku salah mengucap. "E" yang aku sebut seperti menyebut emas ( harusnya e dalam kata Enak ) sehingga perkataanku mejadi merit yang artinya anak bebek dan bukan married.


Dengan muka yang merah padam aku balik duduk ke bangkuku semula.


Baniah yang polos masih belum paham dengan kejadian barusan dan aku juga sudah malas untuk membahasnya. Tidak lama kemudian, Tiba tiba saja suara nyaring ala pramugari terdengar lagi memanggil nama Baniah yang saat itu masih dalam keadaang bingung.


Mendengar nama Baniah di panggil, aku hanya bisa cengir saja. Aku sudah menduga-guda bahwa pasti bakal ada tontonan yang tak kalah lucunya dari acara lawak srimulat ( acara lawak di TV yang cukup populer kala itu ).


"Baniah,...coba kamu berhitung sampai 20,..!", Instruksi pun di berikan oleh Mba Wati kepada Baniah. Tentu saja instruksi tersebut di berikan dalam bahasa Inggris.


"Yes miss", jawabnya Baniah dengan nada yang sok British.


Baniah yang sudah biasa menulis angka dengan bahasa lidah, dengan fasihnya mulai menghitung.


"wan,....tu,....tri,....for,..faif,...six,..seven,...eit,..nain,...ten,."


Aku tercengang di buatnya.


Baniah yang kemarin baru bisa berhitung sampai tujuh, hari ini sudah bisa menghitung sampai sepuluh. Semua tercengang menunggu kata eleven keluar dari mulut Baniah. Semua mata yang tertuju pada Baniah kemudian berganti memandangku. Aku terharu pasti mereka kagum denganku, karena akulah sahabat Baniah yang selalu sabar membimbingnya.


Dalam tempo 2 hari kemajuan pesat sudah mulai tampak pada kemampuan Baniah berbahasa Inggris. "Tidak sia sia ku korbankan waktu untuk membimbingnya", itulah apa yang ada di benakku.


Dudukku makin tegap dan kepala makin mendongak. Dengan gaya seorang guru besar aku menyimak Baniah. Menanti kata-kata berikutnya.


"ilefen,....tuelef,...trielef,....", Baniah melanjutkan hitungannya. Mendengar hitungan Baniah, wajahku mendadak pucat pasi. Seakan-akan merasa kupingku salah dengar, aku pasang telingaku tajam-tajam dan kemudian mendengarkan lanjutan hitungan Baniah dengan seksama.


"forelef,...trielef,...sikelef,...", Baniah terus melanjutkan hitungannya tanpa sadar akan kesalah yang dia buat. Dengan tegas dan percaya diri, Baniah akhirnya menyelesaikan hitungannya dari satu sampai dua puluh menggunakan Bahasa Inggris.


Yang Baniah tampak tak sadari adalah hampir kami semua sudah berguling guling memegang perut, menahan tawa. Bahkan salah satu kawan kami, si gendut yang doyan tertawa bisa di bilang mencapai puncaknya. Ia tertawa sampai ngompol dikelas.


Beruntung waktu itu Ibu Diana sedang tidak ada di tempat. Beliau saat itu sedang pergi chek up darah yang akhir akhir ini naik drastis. Mungkin saja hal ini di sebabkan oleh Baniah menjadi penghuni asrama sekaligus menjadi siswi resmi beliau. Kali ini Baniah terhindar dari hukuman membersihkan WC.


Tuhan memang sayang kepada Baniah. Baniah akhirnya di pertemukan dengan majikannya yang ternyata orang melayu. Hal ini menyebabkan Dia tidak perlu repot lagi membuka kamus bahasa lidahnya.

Tidak ada komentar: